Mumpung libur panjang, kali ini
aku akan menceritakan tentang “kegagalan”ku kuliah.
Kisah ini berawal ketika
aku memutuskan untuk menahan keinginanku yang telah lama kusematkan dalam
sanubariku. Mulai dari SMP, aku jatuh hati dengan Matematika dan Biologi. Biologi
adalah hobiku. Matematika adalah nafasku. Alay memang. Namun tak sekalipun aku
pernah memenangkan kontes Matematika maupun Biologi. Biarlah. Yang penting aku
tetap mencintainya. Masa SMApun dimulai. Yang kucintai tetaplah sama. Matematika
dan Biologi. Kelas 12pun menghampiriku. Aku ragu akan cita-citaku. Aku takut
ditolak jurusan idaman. Meskipun teman dan keluargaku tetap “menyemangatiku”,
aku tetap tak mendengarnya. Bagiku itu hanya angin lalu dan aku terus kukuh
dengan pendirianku untuk melupakannya. SNMPTN sudah dibuka. Aku mendaftar di
salah satu Universitas terbaik di Jawa Timur. Akupun dinyatakan diterima. Pastinya
aku senang karena tak perlu ikut tes SBMPTN. Cita-citaku waktu itu, aku ingin
menciptakan jantung buatan. Aku mulai googling sana-sini untuk mencari tahu
tentang perkembangan organ artifisial di Indonesia. Akupun menancapkan
keinginanku ke Eropa untuk mempelajari biomaterial lebih dalam. Waktu itu, yang
ada di pikiranku, aku harus bisa.
Sampai pada suatu waktu,
aku mendapatkan kata-kata dari seseorang yang begitu “menampar”ku dan aku
bersumpah dalam hati bahwa kelak aku juga bisa sukses bersama mimpi-mimpiku
yang sebentar lagi akan kuraih. Peluh untuk memantapkanku meraih cita-citaku
kian mengering. Aku mulai berpikir dangkal bahwa Indonesia masih berkembang. Kalau
pengen buat jantung buatan, bukan di sini tempatnya. Cita-citaku yang
kusematkan semakin pudar. Memudar. Dan hilang. Mimpi yang begitu besar dan gila
sudah kubuat dan kuhilangkan sendiri. Aku semakin rapuh. Niatku untuk meninggalkan
jurusanku semakin besar. Sampai aku tak mampu menahannya. Dengan berat hati,
aku mengajukan pengunduran diri ke Wakil Dekan I. Pada saat itu, Ibu Wakil
Dekan tak serta merta meng”iya”kan keinginanku. Beliau menerka-nerka mengapa
aku tak mau meneruskan menuntut ilmu di sini. Aku dinasehati begitu banyak oleh
Ibu Nanik (Wakil Dekan I). Beliaupun sempat menyekakku dengan kata yang kurang
lebih seperti ini, “kalau kamu tidak kuliah, kamu mau kemana? Apa kamu yakin
bakal diterima tahun depan? Kalau tidak diterima? Bagaimana? Apa kamu tidak
kasihan dengan teman-temanmu yang gagal kuliah di sini karena kamu?” aku seketika
menangis saat itu juga. Aku tak tau harus menjawab apa selain menangis. Ketika aku
menemui Ibu Nanik, aku tak sendirian. Aku ditemani Ibu Ima, dosen waliku. Beliau
adalah wanita yang pertama kali memelukku seraya menenangkanku ketika aku
terisak. Aku tak mungkin melupakan beliau. Ingin rasanya bisa bertemu dengan
beliau lagi. Kekerasan hatiku memuncak kembali. Aku tetap memutuskan untuk
mengundurkan diri. Tak lupa aku mengucapkan selamat tinggal kepada
teman-temanku yang mau mengenalku melebihi orang lain. Terima kasih,
teman-teman.
Aku mulai teringat dengan
kata-kata yang pernah menamparku. Tamparan yang membuatku tersadar bahwa aku
harus kembali pada cinta pertamaku (Matematika dan Biologi). Aku tau bahwa
Matematika dan Biologi tak mungkin ada dalam satu jurusan. Keduanya bertolak
belakang. Aku harus mengorbankan salah satu. Akhirnya kukorbankan Matematika. Aku
mulai menggeluti Biologi. Aku mulai mencari jurusan yang sarat akan Biologi. Mulai
dari FMIPA Biologi, Farmasi, sampai Kedokteran. Kujajal semua jurusan itu di
tahun berikutnya. Dan alhamdulillah ada yang nyantol. Kedokteran UNEJ. Kini aku
semakin bebas pulang pergi kari rumah ke kampus. Ya. Karena rumahku di
Banyuwangi. Aku semakin menikmati kehidupan baruku dan berhasil menaklukkan
tantangan dari Ibu Bapakku. Beliaupun mengadakan syukuran saat aku sudah
diterima di kampus baruku. Terima kasih Buk, Pak. Without you, I’ll be nothing.
Terima kasih juga untuk seluruh teman-temanku yang turut mendoakanku.
Kata – kata
indah yang kuingat sampai sekarang: “Tuhan tidak bermain dadu”, Albert
Einstein.